Dykuza Dalam Tulisan, Skoliosis

Catatan Hati Skolioser: Satu Skoliosis, Seribu Harapan dan Sejuta Semangat! (#2)


1999 – Awal 2002

Akhirnya brace menjadi teman setia dalam keseharian saya semenjak saya duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Saya, gadis berusia 9 tahun mulai belajar menyesuaikan diri bersahabat dengan brace. Yap, saya belajar untuk bisa memakainya sendiri. Hampir 24 jam dalam hidup saya saat itu ditemani brace yang dengan setia menempel ditubuh saya. Saya hanya meninggalkannya ketika mandi saja. Sekolah, makan, minum, bermain, mengaji bahkan tidur pun brace dengan setia menempel ditubuh mungil saya. Lalu, bagaimana rasanya memakai brace sepanjang hari? Nggak enak! Sangat tidak nyaman sebenarnya ketika tubuh ini harus menggunakan brace sepanjang hari. Sesak. Panas. Bisa dibayangkan yah, tubuh kurus saya ini dipaksa dipress dengan alat yang terbuat dari baja berlapis kulit hampir selama 24 jam. Saya menjadi tidak bebas beraktivitas sebenarnya.

DIV-011.2L

Contoh gambar brace yang kurang lebih 11-12 sama brace yang pernah saya pakai dulu 🙂

Setiap kali habis mandi saya harus terlentang di atas tempat tidur untuk menggunakan brace, meletakkan brace melingkar di tubuh saya dari dada hingga ke pinggang, mengaitkan tali dari bawah ke atas agar brace tersebut kokoh membungkus tubuh mungil ini. Bayangkan! Itu yang saya lakukan setiap harinya setelah teman baru saya itu hadir.

Brace yang melekat pada tubuh saya membuat tubuh saya lebih tegap namun terkesan kaku. Itu tantangan tersendiri bagi saya, terlebih dengan karakter saya yang pendiam, pemalu plus minderan alias tidak percaya diri. Saya terlihat tegap tapi aneh. Tidak mudah bagi saya ketika harus mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Beberapa teman bisa mengerti dengan kondisi saya yang seperti ini. Tetapi sebagian teman yang lain, terutama teman-teman cowok sering mengejek saya karena postur tubuh saya yang terlihat aneh. Ketika saya berjalan di depan mereka, mereka spontan berteriak, “Robot gedhek lewat… robot gedhek lewat… robot gedhek lewat…” Setelah itu mereka dengan segera berlari meninggalkan saya. Saya pun hanya terdiam. Ya, hanya diam saja. Sedih rasanya ketika mereka harus mengejek saya seperti itu. Tapi saya berusaha untuk tetap tegar. Ingin menangis seketika itu juga, namun saya tidak bisa menangis di depan mereka karena sifat pemalu saya.

Suatu ketika saya pun memberanikan diri untuk mengejar mereka yang berani mengejek saya. Itu reaksi spontan saya. Ya, saya mungkin memang terkadang cengeng, tapi jiwa tomboy saya seketika itu juga bisa mengalahkan kecengengan saya. Saya kejar mereka semua sekuat tenaga walaupun pada akhirnya kecepatan lari saya pun tak kuasa melebihi kecepatan lari mereka. Saya hanya terengah-engah, percuma saja mengejar mereka semua.

Tantangan lain yang saya hadapi adalah ketika tiba saatnya mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan. Pelajaran yang tidak saya sukai. Setelah menjadi skolioser, terlebih ketika harus menggunakan brace, olahraga menjadi momok tersendiri bagi saya. Saya menjadi minder sendiri ketika harus mengikuti mata pelajaran ini. Fisik saya yang berbeda dengan teman-teman lainnya membuat saya semakin minder, terlebih ketika tiba saatnya pak guru meminta kami semua berlari memutari lingkungan sekitar sekolah sejumlah putaran tertentu. Bagaimana saya bisa melakukannya dengan baik sementara untuk jalan terlalu jauh saja nafas saya sudah ngos-ngosan? Sekali lagi, karena skoliosis saya menjadi tidak bisa seperti teman-teman saya. Setiap kali pelajaran olahraga, sedikit sekali saya bisa berpartisipasi didalamnya. Hal tersebut membuat saya menjadi satu-satunya siswa yang langganan diberi tugas tambahan berupa kliping makalah tentang olahraga sebagai tugas pengganti. Ya, hanya saya sendiri. Alhamdulillah saya bisa melaksanakannya dengan baik.

Masa di bangku sekolah dasar banyak saya habiskan dengan menggunakan brace, diejek oleh teman-teman cowok, membalas ejekan mereka dengan balik mengejar dan masih banyak hal-hal konyol khas anak-anak sekolah dasar yang saya lakukan di masa kekanakan saya ini. Pernah juga pada suatu hari salah seorang teman cowok lagi-lagi mengejek saya. Saat itu saya memutuskan untuk tidak mengejarnya. Namun tangan kanan saya dengan segera terbang untuk memukulnya. Tapi apa yang terjadi? Teman saya spontan menangkis pukulan saya dan akhirnya jari manis saya sebelah kanan yang menjadi korbannya. Ternyata saya kalah lagi. Kesal!! Itu yang saya rasakan.

Sesampainya di rumah saya menyampaikan kejadian itu semua kepada ibu. Sebelumnya, saat pulang sekolah saya dijemput oleh budhe, kakak perempuan dari bapak. Budhe pun ikut kesal mendengar cerita saya. Beliau bertanya kepada saya, “Kenapa tadi tidak bilang waktu di sekolah? Biar budhe bisa tahu siapa yang nakalin kamu!” Saya pun terdiam. Saya memang tipe orang yang pendiam, sekalipun banyak orang yang berbuat usil kepada saya. Sekalipun banyak yang melakukan bullying kepada saya pada saat itu. Saya berani bercerita kepada ibu karena saat itu jari manis saya memang terasa sangat sakit, sepertinya terkilir akibat tangkisan itu sehingga saya memberanikan diri untuk bercerita kepada ibu.

Akhirnya saya dibawa ke tukang urut untuk memijatkan jari manis saya. Ternyata benar, rasa sakit yang saya rasakan dikarenakan jari manis saya terkilir. Setelah pemijatan itu jari manis saya sebelah kanan sempat bengkak selama 3 hari. Teman saya itu telah membuat kisah baru untuk jari manis saya setelah sembuh dari terkilir: jari manisku sedikit bengkok. Saya mencoba ikhlas untuk semua ini. Alhamdulillah masih bisa digunakan untuk menulis.

Kembali ke skoliosis. Selain menggunakan brace untuk skoliosis, saya juga melakukan pengobatan alternatif. Saya juga secara rutin berenang minimal seminggu sekali agar otot-otot saya tidak kaku. Berenang juga merupakan salah satu olahraga yang sangat dianjurkan untuk penyandang skoliosis. Pengobatan alternatif kali ini masih pemijatan seperti yang saya jalani sebelumnya. Namun kali ini berlokasi di luar kota Yogyakarta. Tempat pengobatan tersebut berlokasi di Salatiga. Seminggu sekali saya diantar bapak untuk kontrol rutin kesana naik motor. Ya, hanya berdua saja: saya dan bapak. Naik motor selama kurang lebih 2 jam perjalanan berangkat dan 2 jam perjalanan kembali ke Yogyakarta. Bayangkan! Seorang skolioser seperti saya harus melakukan seperti itu setiap minggunya. Lalu apa tidak capek di jalan? Jangan ditanya lagi, punggung saya rasanya pegal semua. Terkadang harus menyangga badan saya dengan tangan kiri selama di perjalanan untuk mengurangi rasa sakit di punggung saya. Pokoknya saya mencoba mencari posisi senyaman mungkin selama berada di perjalanan.

Selama masa pengobatan alternatif tersebut, saya dianjurkan untuk tidur tidak menggunakan kasur dan bantal. Sejak itu saya tidur hanya di atas sebuah papan tanpa kasur. Seringkali setiap bangun tidur badan saya sakit semua. Tapi demi kesembuhan tulang belakang saya, saya ikhlas melsayakan itu semua. Kebetulan saya anak yang penurut dan saking penurutnya, disuruh ikutan pengobatan apa saja juga asal ngikut tanpa berpikir panjang.

Saat akhir sekolah dasar, saat saya duduk di kelas 6 SD, saya masih secara rutin kontrol ke rumah sakit ortopedi di Surakarta. Kurang lebih sudah 2 atau 3 tahun (lupa lebih tepatnya..hehehe) saya memakai brace, namun tidak ada perubahan yang signifikan juga. Akhirnya dokter menganjurkan untuk mengganti brace dengan model brace yang sampai leher. Saya tidak membayangkan apa jadinya jika saya memakai brace itu. Menggunakan brace yang tidak kelihatan sampai leher saja sudah diejek robot gedhek oleh teman-teman saya, apalagi harus memakai brace yang kelihatan sampai leher? Pasti sangat menyakitkan! Tapi lagi-lagi demi kesembuhan, saya mau dibuatkan brace yang mengerikan itu. Akhirnya saya pun kembali ke bengkel pembuatan brace yang sama seperti dahulu. Entahlah sudah berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh orangtusaya demi kesembuhan anak sulungnya ini. Maafkan anakmu ini yah, ibu dan bapak.. TT

Suatu hari teman dekat bapak menawarkan pengobatan lain: dokter gigi. Apa hubungannya skoliosis dengan gigi? Logika kekanakan saya masih belum bisa menerimanya. Ini ada hubungannya dengan cerita saya sebelumnya mengenai dokter gigi dengan rompi baja alias braceku yang tertinggal di rumah sang dokter gigi yang aneh. Kenapa saya menyebutnya dokter gigi yang aneh? Ya, karena memang aneh menurut saya. Ketika pertama saya berkunjung ke kliniknya, saya ditanya tentang skoliosis saya. Saat itu juga saya diminta untuk cek darah dan rontgen panoramic untuk gigi saya. Dokter tersebut bilang kalau yang menyebabkan saya sering sesak nafas karena tipe rahang saya yang kecil sehingga ada beberapa gigi yang harus dicabut untuk menambah ruang di rahang saya. Dokter itu pun mengatakan bahwa antara tulang rahang saya ada hubungannya dengan tulang belakang saya. Sebagai orang awam, itu aneh menurut saya. Semenjak menggunakan brace, saya memang lebih sering sesak nafas, mungkin karena posisi paru-paru saya yang terlalu sering ditekan oleh brace itu. Selain itu, skoliosisku juga mengakibatkan ruang untuk paru-paru saya lebih sempit karena tulang rusuk saya menjadi tidak pada posisi normalnya. Walaupun demikian, saya harus tetap bersyukur, alhamdulillah saya masih diberi nikmat untuk dapat menghirup oksigen sampai detik ini sehingga saya bisa menulis tulisan ini untuk berbagi ke teman-teman yang berkesempatan membacanya.

Akhirnya saya pun menuruti kemauan dokter itu. Sesuai kesepakatan, 2 hari setelah rontgen dan cek darah, pada hari Jum’at akhirnya dokter itu mencabut sekaligus 2 gigi geraham saya, kanan dan kiri. Langsung sulit makan saat itu. Dokter itu juga menganjurkan saya untuk mengikuti terapi akupuntur. Lagi-lagi saya tidak bisa menolaknya demi kesembuhan tulang belakang saya. Sekujur tubuh saya dipenuhi dengan jarum akupuntur yang dihubungkan dengan kabel yang salah satu ujungnya dikaitkan ke sebuah alat penghasil arus listrik khusus untuk terapi akupuntur. Bergetarlah semua jarum yang menancap ditubuh saya ketika alat penghasil arus listrik itu dinyalakan.

 Skoli 2

Dykuza Dalam Tulisan, Skoliosis

Catatan Hati Skolioser: Satu Skoliosis, Seribu Harapan dan Sejuta Semangat! (#1)


Catatan Hati Skolioser: Satu Skoliosis, Seribu Harapan dan Sejuta Semangat! Yap, pada kesempatan kali ini, untuk pertama kalinya saya mencoba untuk share tentang ‘sahabat’ saya: skoliosis 🙂 ‘Sahabat’ yang diberikan oleh Allah SWT untuk membersamai saya lebih dari separuh episode kehidupan duniawi saya hingga detik ini. Dengannya, Allah SWT membimbing saya bagaimana untuk menjadi hambaNya yang harus terus bersyukur atas nikmatNya yang tiada tara. Bagaimanapun kondisi kita, itulah yang terbaik dari Allah SWT, iya kan? 🙂

Bismillahirrahmanirrahiim…

Yogyakarta, 1998

Kota Yogyakarta menjadi saksi bisu ketika saat itu ibu melihat ada yang janggal dengan tubuh saya. Kejanggalan yang akhirnya membuat saya berbeda dengan yang lain. Saya mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti itu semua. Usia saya saat itu masih 8 tahun. Seorang gadis kecil, siswi sekolah dasar yang sedang menikmati masa kecilnya bersekolah di bangku kelas tiga. Gadis kecil dengan keceriaan dan kelucuannya yang pada akhirnya harus mengetahui bahwa ia berbeda dengan teman-temannya.

Semua berawal ketika suatu hari di tahun 1998, ibu melihat ada yang aneh pada tulang belakang saya pada saat beliau memandikan saya. Seketika itu juga ibu memberitahukan keanehan tulang belakang saya kepada bapak. Tak lama kemudian beliau berdua, bapak dan ibu sepakat membawa saya ke sebuah rumah sakit di Yogyakarta untuk memeriksakan tulang belakang saya.

Dokter meminta saya untuk melakukan foto rontgen. Saya pun bersama ibu dan bapak langsung bergerak menuju unit pelayanan radiologi. Setelah semua proses di unit pelayanan radiologi selesai, kami diminta untuk menunggu hasil rontgen tersebut jadi dan kemudian langsung dibawa kembali ke ruangan dokter untuk dibaca. Kami pun kembali ke ruangan dokter dengan membawa selembar amplop besar yang didalamnya berisi hasil rontgen tulang belakang saya.

Hasil rontgen pun kami serahkan ke dokter untuk dibaca. Dokter akhirnya memasang hasil rontgen tulang belakang saya di suatu papan yang didalamnya terdapat lampu berwarna putih.

Cetrek!”, dokter pun menyalakan saklar lampu pada papan tersebut dan membuat papan itu menjadi menyala dengan sinar lampu berwarna putih yang cahayanya menembus film hasil rontgen tulang belakang saya. Setelah membaca hasil rontgen tersebut, dokter menyatakan bahwa saya terkena skoliosis, kelainan pada tulang belakang. Entah mengapa saat itu saya tidak begitu mengerti tentang itu semua, tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh dokter dan kedua orangtua saya. Ya, mungkin karena saya memang masih terlalu kecil pada saat itu sehingga tidak terlalu merisaukan hasil pemeriksaan itu. Namun kini setelah saya bisa mencari tahu itu semua sendiri, saya mencoba untuk mengerti semuanya, bahwa saya tidak sendiri, saya bersama skoliosis yang mulai terdeteksi sejak usia saya 8 tahun. Sejak saat itu saya adalah seorang skolioser 🙂

Skoli

Skoliosis, kelainan pada rangka tubuh yang berupa kelengkungan tulang belakang yang sebagian besar kasusnya adalah idiopatik, tidak diketahui penyebabnya secara pasti. Dan ternyata itu yang terjadi pada tulang belakang saya.

Setelah mengetahui hasil rontgen tersebut dokter menganjurkan saya untuk melakukan fisioterapi secara rutin satu kali dalam satu minggu. Selama berbulan-bulan saya menuruti anjuran dokter, setiap seminggu sekali di hari Kamis saya harus ijin tidak masuk sekolah setengah hari untuk melakukan fisioterapi di rumah sakit. Selama proses fisioterapi itu saya diminta untuk melakukan stretching ringan oleh seorang instruktur fisioterapi dan tulang belakang saya disinari menggunakan sinar berwarna merah, sinar yang membuat bagian punggung saya terasa lebih hangat. Sinar berwarna merah itu berasal dari sinar infra merah yang dipaparkan ke bagian punggung saya. Berbulan-bulan melakukan fisioterapi di rumah sakit ternyata tidak membawa perubahan signifikan pada kelengkungan tulang belakang saya.

Orangtua saya kemudian memutuskan untuk mencari pengobatan alternatif. Saat itu kami mendapat informasi mengenai pengobatan alternatif yang dilakukan dengan cara pemijatan dan didukung dengan asupan herbal yang sering disebut orang Jawa sebagai jamu. Secara rutin saya diantar ke tempat pemijatan itu. Secara rutin juga saya disarankan untuk meminum jamu demi kesembuhan tulang belakang saya. Namun langkah ini pun tidak memberikan perubahan yang berarti untuk skoliosis saya.

Pada suatu hari seseorang menyarankan kepada kami untuk memeriksakan kembali kelainan pada tulang belakang saya ini ke sebuah rumah sakit yang ada di Surakarta, Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso. Tidak lama kemudian kami pun bergegas berangkat ke Surakarta. Sama seperti pada saat pemeriksaan di rumah sakit yang ada di Yogyakarta, di rumah sakit khusus ortopedi ini saya juga diminta untuk melakukan foto rontgen terlebih dahulu. Hasil rontgen tersebut kemudian diserahkan kepada dokter yang memeriksa saya. Seperti biasanya, dokter melihat hasil rontgen saya dan mengukur derajat kemiringan tulang belakang saya. Namun memori di kepala saya sampai saat ini tidak dapat mengingat dengan baik seberapa besar derajat kemiringan tulang belakang saya pada saat itu. Lagi-lagi mungkin karena saya masih terlalu kecil untuk dapat mengingatnya dengan baik. Pun dengan kedua orangtua saya, ketika saya mencoba untuk mengorek informasi itu, beliau berdua juga sudah tidak dapat mengingatnya. Memori itu memang sudah terlalu lama bagi kami, memori 16 tahun silam.

Satu bulan sekali saya diantar ibu dan bapak untuk kontrol ke rumah sakit yang berlokasi di Surakarta itu. Tentu saja saya harus ijin tidak masuk sekolah demi kesembuhan tulang belakang saya. Semenjak tahu jika saya bersama skoliosis di punggung saya, saya memang menjadi siswi yang paling rajin untuk ijin tidak mengikuti mata pelajaran di sekolah. Ijin untuk fisioterapi, ijin untuk kontrol dan ijin jika saya mendadak sakit. Alhamdulillah guru-guru di sekolah mengerti akan keadaan saya sehingga beliau semua memakluminya.

Seperti kontrol pada bulan-bulan sebelumnya, dokter meminta saya untuk rontgen terlebih dahulu dan membaca hasil rontgen tersebut kemudian mengukur derajat kemiringannya. Begitu seterusnya setiap kali saya kontrol ke rumah sakit. Saat yang mendebarkan adalah ketika dokter mengukur derajat kemiringan pada film rontgen itu. Pernah pada suatu hari ketika saya kontrol, dokter mengatakan bahwa derajat kemiringan skoliosis saya bertambah. Saya pun hanya terdiam. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya tidak harus bagaimana. Saya masih terlalu kecil untuk mengetahuinya. Saya masih terlalu kecil untuk menerima ini semua. Hingga pada suatu waktu dokter menyarankanku untuk memakai suatu rompi yang terbuat dari besi dan baja pada saat itu. Rompi yang kini kita kenal dengan istilah brace. Entah mengapa dulu telinga saya lebih familiar dengan istilah rompi besi dan baja.

Akhirnya saya pun harus mengunjungi bengkel pembuatan rompi baja itu untuk melakukan pencetakan. Saya diminta untuk memasuki suatu ruangan yang didalamnya terdapat lembaran kain kassa dan serbuk berwarna putih yang saya ketahui sebagai serbuk gypsum. Seorang petugas mulai memasukkan kassa yang telah diberi serbuk gypsum ke dalam air untuk membasahinya kemudian melekatkannya memutari tubuh saya, terutama pada bagian sekitar punggung. Petugas itu memasangkan gypsum itu hingga membentuk setengah bentuk tubuh saya, melingkar dari dada hingga ke pinggang. Setelah gypsum yang melekat pada tubuh saya sedikit mengering, petugas itu pun melepaskannya dari tubuh saya. Rompi baja saya segera dibuat dan seingat saya butuh waktu kurang lebih satu bulan untuk pembuatannya.

Sebulan kemudian saya kembali ke rumah sakit ortopedi itu. Saya melakukan agenda seperti biasanya, yang membedakan adalah saya memiliki teman baru lagi: rompi baja. Pesanan rompi baja saya pun akhirnya jadi dan kami mengambilnya di bengkel yang sama. Rompi itu berbentuk persis seperti cetakan tubuhku kala itu. Rompi berwarna coklat muda terbuat dari kerangka plat baja di bagian belakangnya dan dilapisi kulit diluarnya. Terlihat pula benang jahitan yang mengaitkan kulit sebagai lapisan luar rompi baja itu. Bagian depan rompi baja itu dipasang beberapa pasang pengait di sebelah kanan dan kiri untuk meletakkan tali pengaitnya. Sepertinya brace rompi baja saya ini memang model jadul alias jaman dulu sehingga pemakaiannya pun kurang praktis, berbeda dengan brace skoliosis yang ada sekarang. Sayangnya saya tidak memiliki satupun foto rompi baja saya itu karena belum sempat mengambil gambarnya dan sekarang rompi itu sudah tidak bersama saya. Rompi baja itu ada di rumah seorang dokter gigi. Loh, kok bisa ada di rumah dokter gigi? Apa hubungannya dokter gigi dengan rompi baja alias brace untuk penderita skoliosis? Nanti akan saya ceritakan di bagian lain kisah ini.

(#1)

 Skoli 1